Senin, 25 Agustus 2025

 Bab 1: Debu dan Doa



Tahun 1970-an di Kampung Stangkle, Depok, adalah masa ketika suara azan lebih nyaring daripada suara mesin. Jalanan masih tanah merah, basah oleh hujan dan berdebu bila kemarau. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki, dan malam datang seperti kerudung yang menutupi mata desa—gelap, sunyi, dan dingin.


Di tengah keterbatasan itu, berdirilah seorang lelaki tua berjenggot putih yang selalu mengenakan sarung lusuh dan peci hitam yang telah pudar warnanya. Dialah Ustadz Syamsudin, lelaki yang hadir di kampung itu bukan karena harta, bukan pula karena warisan. Ia datang karena panggilan—panggilan dari langit, entah dalam mimpi atau lintasan hati yang tak bisa dijelaskan.

Warga mengenalnya sebagai ustadz. Tapi sesungguhnya, ia lebih dari itu. Ia adalah guru, penengah, penasehat, pencerah dan harapan yang hidup dalam tubuh renta namun semangat yang tak bisa diruntuhkan.

“Ada dua cara memperbaiki kampung ini,” katanya suatu pagi kepada Mandor Amat, lelaki bertubuh kekar yang bekerja di ladang. “Dengan tangan atau dengan hati. Tapi yang paling kuat adalah ketika tangan dan hati bekerja bersama.”

Mandor Amat hanya mengangguk, menatap jalanan berlubang dan anak-anak yang tak sekolah.

“Kalau begitu, saya ikut, Ustadz. Tapi kita mulai dari mana?”

“Dari musholla As Sa’adatul Ummah,” jawab Ustadz Syamsudin sambil tersenyum.


Bab 2: Ibu Lamah dan Bubur Jagung


Musholla kecil di pinggir kampung dulunya hanya jadi tempat singgah kambing dan sarang kelelawar. Tapi sejak kehadiran Ustadz Syamsudin, suara ngaji mulai terdengar lagi. Bukan hanya dari mulut dewasa, tapi juga dari anak-anak yang digendong ibunya ke pengajian.

Salah satu yang paling setia datang adalah Ibu Lamah, janda tua yang menjajakan bubur jagung dari rumah ke rumah.

“Ustadz,” katanya sambil meletakkan sebakul bubur di serambi musholla, “bubur ini buat anak-anak yang ngaji. Biar makin semangat.”

Ustadz Syamsudin tersenyum haru. “Ibu Lamah, sedekah Ibu ini yang kelak jadi jembatan ke surga.”

Ibu Lamah hanya tertawa kecil, “Kalau begitu, semoga surga punya tempat duduk buat saya, Ustadz.”

Setiap sore, musholla menjadi tempat ramai. Bukan hanya karena ngaji, tapi juga karena tawa anak-anak. Di sanalah hadir Syafi’i, bocah sepuluh tahun, cucu Ustadz Syamsudin sendiri. Ia cepat menghafal, tapi lebih cepat menangkap perasaan.

“Kakek,” katanya suatu sore, “kenapa kita nggak punya listrik seperti kampung sebelah?”

Ustadz Syamsudin mengelus kepala cucunya. “Karena kita belum minta cukup keras pada Tuhan... dan mari berdo’a dengan Ikhlas dan lirih sembari berusaha.”


Bab 3: Gelap Tak Abadi

Kampung Stangkle tak hanya miskin materi, tapi juga miskin harapan. Dulu, lelaki muda memilih pergi ke kota, gadis-gadis menikah muda karena tak ada pilihan lain. Tapi sejak musholla menjadi pusat hidup, perlahan semuanya berubah. Ada majelis, ada kegiatan remaja, ada calistung, ada kuliah subuh, ada arisan warga hasil inisiatif Ustadz dan Mandor Amat.

Namun perubahan tidak datang tanpa cobaan.

Suatu malam, gerombolan pencuri datang. Mereka mengincar hasil usaha warga. Saat itulah, Ustadz Syamsudin berdiri di jalan, menghalangi mereka sendirian.

“Pergilah,” katanya tenang. “Kalau kalian lapar, mari makan di rumah saya. Tapi jangan rampas yang bukan hak kalian.”

Lelaki-lelaki itu tertawa, sampai Mandor Amat muncul bersama para pemuda kampung.

Pertarungan malam itu bukan soal fisik. Tapi soal keberanian berdiri pada kebenaran.

Sejak malam itu, pencuri tak pernah kembali. Malam menjadi lebih tenang. Dan langit di atas Kampung Stangkle seperti lebih terang walau tak ada listrik.


Bab 4: Cahaya dari Dalam


Butuh waktu bertahun-tahun, tapi akhirnya listrik masuk. Jalanan diperbaiki. Sekolah dibangun. Anak-anak yang dulu belajar ngaji di bawah lampu minyak kini jadi guru, manager, polisi, pegawai, pengusaha, tentara dan ustadz. Kampung itu, dulu yang disebut kampung ‘tak berharga’, kini dikenal sebagai Kampung Cahaya.

Orang-orang dari luar datang belajar. Bukan hanya belajar cara bercocok tanam atau berwirausaha, dan berorganisasi, tapi belajar tentang arti ketulusan, keberanian, dan kerja keras.

Di tengah semua perubahan itu, Ustadz Syamsudin tak berubah. Ia masih di musholla kecil itu, mengajar anak-anak, memimpin doa, dan memetik daun sirih di kebun samping rumah.

Sampai akhirnya, di suatu pagi yang sunyi, saat azan belum berkumandang, Ustadz Syamsudin menghembuskan napas terakhir di sajadahnya. Senyumnya masih ada, seolah ia tahu, perjuangannya sudah selesai.


Epilog: Surat dari Langit


Ananda Syafi’i kini tumbuh menjadi pemuda tangguh. Ia meneruskan jejak kakeknya. Suatu hari, ia menulis di papan pengumuman musholla:

“Kakek pernah bilang, dunia ini gelap. Tapi kalau satu orang mau jadi lilin, dan yang lain menyalakan lilin mereka juga, maka seluruh kampung akan terang. Terima kasih, Kakek. Kampung ini sudah terang sekarang.”

Langit di atas Kampung Stangkle tak lagi kelabu. Ia memantulkan cahaya dari hati orang-orang yang dulu diajar oleh seorang lelaki tua bersarung dan peci hitam—Ustadz Syamsudin, pahlawan yang tak pernah meminta tepuk tangan.


oleh: Mansur Bin Nisan

Tagged: , , , ,

0 komentar:

Posting Komentar