Bab 1: Debu dan Doa
Tahun 1970-an di Kampung Stangkle, Depok, adalah masa ketika suara azan lebih nyaring daripada suara mesin. Jalanan masih tanah merah, basah oleh hujan dan berdebu bila kemarau. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki, dan malam datang seperti kerudung yang menutupi mata desa—gelap, sunyi, dan dingin.
Di tengah keterbatasan itu,
berdirilah seorang lelaki tua berjenggot putih yang selalu mengenakan sarung
lusuh dan peci hitam yang telah pudar warnanya. Dialah Ustadz Syamsudin,
lelaki yang hadir di kampung itu bukan karena harta, bukan pula karena
warisan. Ia datang karena panggilan—panggilan dari langit, entah dalam mimpi
atau lintasan hati yang tak bisa dijelaskan.
Warga mengenalnya sebagai ustadz.
Tapi sesungguhnya, ia lebih dari itu. Ia adalah guru, penengah, penasehat,
pencerah dan harapan yang hidup dalam tubuh renta namun semangat yang tak bisa
diruntuhkan.
“Ada dua cara memperbaiki kampung
ini,” katanya suatu pagi kepada Mandor Amat, lelaki bertubuh kekar yang
bekerja di ladang. “Dengan tangan atau dengan hati. Tapi yang paling kuat
adalah ketika tangan dan hati bekerja bersama.”
Mandor Amat hanya mengangguk,
menatap jalanan berlubang dan anak-anak yang tak sekolah.
“Kalau begitu, saya ikut, Ustadz.
Tapi kita mulai dari mana?”
“Dari musholla As Sa’adatul Ummah,”
jawab Ustadz Syamsudin sambil tersenyum.
Bab 2: Ibu Lamah dan Bubur
Jagung
Musholla kecil di pinggir kampung
dulunya hanya jadi tempat singgah kambing dan sarang kelelawar. Tapi sejak kehadiran
Ustadz Syamsudin, suara ngaji mulai terdengar lagi. Bukan hanya dari mulut
dewasa, tapi juga dari anak-anak yang digendong ibunya ke pengajian.
“Ustadz,” katanya sambil
meletakkan sebakul bubur di serambi musholla, “bubur ini buat anak-anak yang
ngaji. Biar makin semangat.”
Ustadz Syamsudin tersenyum haru.
“Ibu Lamah, sedekah Ibu ini yang kelak jadi jembatan ke surga.”
Ibu Lamah hanya tertawa kecil,
“Kalau begitu, semoga surga punya tempat duduk buat saya, Ustadz.”
Setiap sore, musholla menjadi
tempat ramai. Bukan hanya karena ngaji, tapi juga karena tawa anak-anak. Di
sanalah hadir Syafi’i, bocah sepuluh tahun, cucu Ustadz Syamsudin
sendiri. Ia cepat menghafal, tapi lebih cepat menangkap perasaan.
“Kakek,” katanya suatu sore,
“kenapa kita nggak punya listrik seperti kampung sebelah?”
Ustadz Syamsudin mengelus kepala
cucunya. “Karena kita belum minta cukup keras pada Tuhan... dan mari berdo’a
dengan Ikhlas dan lirih sembari berusaha.”
Bab 3: Gelap Tak Abadi
Namun perubahan tidak datang
tanpa cobaan.
Suatu malam, gerombolan pencuri
datang. Mereka mengincar hasil usaha warga. Saat itulah, Ustadz Syamsudin
berdiri di jalan, menghalangi mereka sendirian.
“Pergilah,” katanya tenang.
“Kalau kalian lapar, mari makan di rumah saya. Tapi jangan rampas yang bukan
hak kalian.”
Lelaki-lelaki itu tertawa, sampai
Mandor Amat muncul bersama para pemuda kampung.
Pertarungan malam itu bukan soal
fisik. Tapi soal keberanian berdiri pada kebenaran.
Sejak malam itu, pencuri tak
pernah kembali. Malam menjadi lebih tenang. Dan langit di atas Kampung Stangkle
seperti lebih terang walau tak ada listrik.
Bab 4: Cahaya dari Dalam
Butuh waktu bertahun-tahun, tapi
akhirnya listrik masuk. Jalanan diperbaiki. Sekolah dibangun. Anak-anak yang
dulu belajar ngaji di bawah lampu minyak kini jadi guru, manager, polisi, pegawai, pengusaha, tentara dan ustadz.
Kampung itu, dulu yang disebut kampung ‘tak berharga’, kini dikenal sebagai Kampung
Cahaya.
Di tengah semua perubahan itu,
Ustadz Syamsudin tak berubah. Ia masih di musholla kecil itu, mengajar
anak-anak, memimpin doa, dan memetik daun sirih di kebun samping rumah.
Sampai akhirnya, di suatu pagi
yang sunyi, saat azan belum berkumandang, Ustadz Syamsudin menghembuskan napas
terakhir di sajadahnya. Senyumnya masih ada, seolah ia tahu, perjuangannya
sudah selesai.
Epilog: Surat dari Langit
Ananda Syafi’i kini tumbuh
menjadi pemuda tangguh. Ia meneruskan jejak kakeknya. Suatu hari, ia menulis di
papan pengumuman musholla:
Langit di atas Kampung Stangkle
tak lagi kelabu. Ia memantulkan cahaya dari hati orang-orang yang dulu diajar
oleh seorang lelaki tua bersarung dan peci hitam—Ustadz Syamsudin, pahlawan
yang tak pernah meminta tepuk tangan.